Kamis, 03 Oktober 2013

TIME VALUE OF MONEY



TIME VALUE OF MONEY

Bantahan atas Konsep Time Value of Money
Ekonomi Islam memiliki prinsip yang yang berasal dari sumber hukum baik al-Qur'an, hadis maupun pemikiran cendikiawan muslim. Nilai fundamental ini yang mendasari pandangan ekonom muslim dalam melahirkan pemikirannya, termasuk mengkaji fungsi uang dalam kehidupan ekonomi. Menurut pendapat mereka, fungsi uang hanya ada dua yaitu: 1. sebagai alat pengukur harga, dan 2. alat pembayaran. Fungsi uang sebagai alat penyimpan nilai tidak diakui karena dianggap sesuatu yang mendekati riba. Fungsi uang yang dilarang inilah yang sebenarnya melahirkan teori time value of money. Konsekuensi logisnya, Ekonom muslim sendiri tidak sependapat dengan konsep ini.
Seperti yang kita ketahui bersama, teori keuangan konvensional mendasarkan argumen pembenaran adanya bunga (interest) melalui konsep time value of money (nilai waktu dari uang). Dalam Ekonomi Islam, validitas konsep ini telah dibantah argumentasinya dengan adanya pelarangan riba dalam Islam. Sebagai gantinya, aktivitas bisnis dalam Ekonomi Islam selalu menekankan kepada mekanisme sistem bagi hasil (profit and loss sharing). Konsep kemitraan ini dirasa lebih tepat dan sesuai dengan prinsip keadilan yang realistis.

Dalam ekonomi konvensional, definisi yang sering digunakan untuk menjelaskan pengertian time value of money adalah "A dollar today is worth more than a dollar in the future because a dollar today can be invested to get a return" Pemahaman ini tentu tidak akurat karena setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang positive, negative, atau no return. Itulah sebabnya dalam teori keuangan, selalu dikenal risk-return relationship (hubungan searah antara resiko dan hasil). Semakin tinggi tingkat resiko yang dihadapi/ ditanggung, maka semakin besar hasil yang diinginkan/ didapatkan, begitu juga sebaliknya.
Menurut pendapat para ekonom konvensional, ada dua hal yang menjadi pondasi konsep time value of money, yaitu:


1. Presence of Inflation
Dapat dimisalkan: katakanlah tingkat inlasi 10% per tahun. Seseorang dapat membeli 10 pisang goreng hari ini dengan membayar Rp.10.000 Namun bila ia
membelinya tahun depan, dengan sejumlah uang yang sama Rp.10.000 ia hanya dapat membeli 9 pisang goreng. Oleh karena itu, ia akan meminta kompensasi untuk hilangnya daya beli uangnya akibat inflasi.

2. Preference present consumption to future consumption
Diandaikan tingkat inflasi nol, sehingga dengan Rp.10.000 seseorang tetap dapat membeli 10 pisang goreng hari ini maupun tahun depan. Bagi kebanyakan orang, mengkonsumsi 10 pisang goreng sekarang lebih disenangi daripada mengkonsumsi 10 pisang goreng tahun depan. Dengan alasan ini, walaupun tingkat inflasi nihil, Rp.10.000 lebih disukai dan dikonsumsi hari ini. Oleh sebab itu, untuk menunda konsumsi, ia mensyaratkan kompensasi.
Argumen pertama disanggah karena tidak lengkap kondisinya. Dalam setiap perekonomian selalu ada keadaan inflasi dan deflasi. Seharusnya keadaan deflasi menjadi alasan adanya negative time value of money. Katakanlah tingkat deflasi 10% per tahun. 10 pisang goreng hari ini harganya Rp.10.000 Namun bila ia membelinya tahun depan dengan uang sama maka dapat 11 pisang goreng. Oleh karena itu, ia akan memberi kompensasi atas naiknya daya beli uangnya akibat deflasi. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak berlaku, hanya satu kondisi saja yang diakomodir oleh time value of money.


Ekonomi Konvensional sebenarnya juga memasukkan unsur ketidakpastian return dan menyebut kompensasinya sebagai discount rate yang lebih bersifat umum dibandingkan istilah interest rate. Ketidakpastian return dikonversi menjadi suatu kepastian melalui premium for uncertainty. Investasi tentu selalu ada kemungkinan mendapat positif return, negative return, dan no return. Inilah yang menimbulkan ketidakpastian (uncertainty), tetapi probabilitas negative return dan no return dipertukarkan dengan sesuatu yang pasti, premium for uncertainty.

Keadaan inilah yang ditolak dalam Ekonomi Islam, yaitu keadaan al- ghunmu bi la ghurmi (gaining return without responsible for any risk) dan al- kharaj bi la dhaman (gaining income without responsible for any expense). Sebenarnya keadaan ini juga ditolak oleh teori keuangan yang menjelaskan adanya hubungan searah antara risk dan return.
Kuantitas waktu sama bagi semua orang, yaitu 24 jam sehari, 7 hari sepekan. Namun nilai dari waktu akan berbeda dari satu orang ke dibandingkan orang lainnya. Misalnya bagi seorang buruh kasar satu jam kerja bernilai Rp.25.000, bagi manajer keuangan menghasilkan Rp.250.000, sedangkan bagi pakar Ekonomi Islam dihargai Rp.2.500.000.
Jadi faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (tepat guna) dan efisien (tepat cara), maka akan semakin tinggi nilai waktunya. Efektif dan efisien akan mendatangkan keuntungan di dunia bagi siapa saja yang melaksanakannya. Oleh karena itu, siapa pun pelakunya, secara sunnatullah dakan mendapatkan keuntungan di dunia.
Lebih dari itu, dalam Islam keuntungan yang dicari bukan saja keuntungan di dunia tetapi juga di akhirat. Oleh karenanya pemanfaatan waktu bukan saja harus efektif dan efisien, tapi ia juga harus didasari dengan keimanan. Keimanan inilah yang akan mendatangkan keuntungan di akhirat. Sebaliknya, jika keimanan tidak mampu mendatangkan keuntungan di dunia, berarti ada faktor-faktor yang belum diamalkan.

Risiko Fluktuasi Ekonomi dan Bisnis
Keadaan suatu perekonomian tentu berfluktuasi dari periode satu ke periode lainnya. Sebuah aktivitas bisnis tentu juga dipengaruhi keadaan makro ekonomi tersebut, sehingga mau tidak mau harus memperhitungkan factor resiko dalam menjalankan usahanya. Mengacu pada time value of money, ekonomi konvensional menggunakan besaran tingkat bunga untuk mengukur factor ketidakpastian dan inflasi. Hal ini untuk mensiasati agar tingkat resiko lebih kecil dan memperoleh tingkat keuntungan yang diinginkan.
Ketidakpastian dalam pemikiran ekonomi konvensional disandarkan pada dua hal. Pertama, ketidakpastian disebabkan adanya beberapa pilihan investasi dengan tingkat resiko dan harapan keuntungan yang berbeda. Kedua, ketidakpastian sebagai akibat dari kondisi perekonomian yang tidak menentu dan tidak bisa diprediksi. Keadaan yang serba tidak menentu ini biasanya diatasi dengan kebijakan moneter melalui bunga sebagai instrumen utama untuk mengontrol jumlah uang beredar/ mengatasi inflasi.
Sistem instrumen bunga untuk mengantisipasi ketidakpastian dalam kajian Ekonomi Islam sendiri tidak dikehendaki keberadaannya. Namun demikian, sebuah aktivitas bisnis tentu dipengaruhi oleh faktor makro ekonomi berupa inflasi. Hal inilah yang menjadikan alasan diberikannya tambahan pada nilai uang yang dibayar secara kredit dengan memperhitungkan inflasi. Tambahan ini dibolehkan agar nilai uang tersebut tetap dan tidak termasuk riba. Besarnya tambahan itu tidak diperkenankan ditentukan di awal/ diprediksi untuk jangka panjang tetapi harus sesuai dengan kenyataan yang telah terjadi.
Keuangan bisnis modern seringkali dipenuhi unsur spekulasi (gharar) dan bunga (riba). Sebaliknya, Islam sangat melarang keras unsur-unsur tersebut dan menggunakan analisis riil untuk menghitung tingkat keuntungan dan risiko setiap usaha. Dengan demikian, dimungkinkan mendapatkan keuntungan dan kerugian yang berbeda untuk jumlah pinjaman yang sama. Kajian Ekonomi Islam terhadap teori bunga ini sendiri masih pada pendekatan mikro ekonomi belum begitu mendalam dan komprehensif pada wilayah kebijakan ekonomi makro dan moneter.

Sistem Bagi Hasil sebagai Solusi
Sebagai jawaban atas ketidaksetujuan teori bunga (time value of money), Ekonomi Islam menawarkan sistem kerjasama dengan menggunakan mekanisme bagi hasil (profit and loss sharing). Sistem yang lebih adil ini berangkat dari asumsi bahwa setiap usaha selalu mengandung resiko baik untung maupun rugi sehingga kedua belah pihak harus siap berbagi dan menerima apapun yang terjadi tidak hanya satu pihak saja yang untung atau dirugikan.
Pada Lembaga Keuangan Syariah, prinsip dan mekanisme bagi hasil diterapkan menjadi produk mudharabah dan musyarakah. Namun sayang proporsi produk utama ini masih lebih kecil dibandingkan produk lainnya. Kekurangan ini terjadi karena sosialisasi pemahaman pada lembaga dan masyarakat belum berjalan optimal. Sehingga diperlukan edukasi publik yang lebih lanjut untuk menyamakan persepsi antara lembaga dengan masyarakat.
Ide dan konsep sistem bagi hasil yang berkeadilan akan sukses jika dijalankan dengan konsisten dan profesional. Akan tetapi sulit diaplikasikan dalam dunia nyata, karena menghadapai ketidakpastian dan inflasi. Hambatan ini dapat diatasi dengan modifikasi asalkan masih dalam kerangka syariah. Melalui sistem Islam yang lebih adil ini, Lembaga Keuangan Syariah masih mempunyai peluang untuk pemberdayakan ekonomi terutama pada bisnis usaha kecil.

TIME VALUE OF MONEY DALAM PERDEBATAN
Dalam konteks perekonomian konvensional, ada banyak hal yang dapat kita bandingkan secara teknik evaluasi proyek, artinya perbandingan itu harus dilakukan dari persepsi Islam tatkala secara teknik dan konsep tidak dapat kita temukan solusi yang memadai dalam sistem perekonomian kapitalis. Salah satu dari hal tersebut adalah konsep nilai waktu dari uang (time value of money).

Konsep time value of money telah diklaim oleh sebagian besar ahli ekonomi Islam sebagai sesuatu yang diharamkan karena adanya unsur riba didalamnya. Walaupun pemahaman secara lumrah tentang konsep ini terefleksikan dalam beberapa akad muamalah Islam yang justru dibolehkan secara hukum syariah, sebagai contoh adalah prinsip jual beli salam, jual beli secara tangguh bayar (bai bitsaman al ajil), ijarah, dan konsep ujrah atau upah dalam Islam, dimana semua hal tersebut tidak dapat terlepas dari dimensi waktu yang secara inheren sangat terkait dengan transaksi yang ada.
Merupakan langkah yang bijak jika konsep cost of capital didefinisikan secara jelas dengan sedikit kesadaran terhadap sisi nilai waktunya. Kajian fiqh seakan-akan lebih mendominasi dalam sisi hukumnya, akan tetapi pengembangan permasalahan tersebut haruslah dibarengi dengan tools lain agar kajian menjadi semakin komprehensif dan representatif untuk sebuah kajian ilmiah. Barangkali dapat dikatakan bahwa permasalahan ini masih menyisakan sedikit kekaburan yang harus dibereskan secara ilmiah dan memadai, karena memang di sana akan banyak pertanyaan dan diskusi yang memotivasi adanya gairah dan usaha baru untuk kembali memberi solusi yang relevan dengan perkembangan era yang semakain kompleks dan njlimet.
Konsep time value of money merupakan kembangan dari teori-teori bunga yang ada (theory of interest), dari berbagai pandangan para ekonom kapitalis sepanjang masa. Dalam classical theory of interest tokoh yang sangat terkenal adalah Smith dan Ricardo, mereka berpendapat bahwa bunga merupakan kompensasi yang dibayarkan oleh peminjam (borrower) kepada si pemberi pinjaman (lender) sebagai balas jasa atas keuntungan yang diperoleh dari uang yang dipinjamkan tersebut. Jika uang yang dimanfaatkan untuk usaha dapat menghasilkan, maka demikian pula jika digunakan untuk pinjaman. Kemudian Bohm Bawerk, pengembang Teori Bunga Austrian, juga berpendapat bahwa orang akan merasa senang dengan barang yang ada sekarang daripada barang yang akan diperoleh pada masa yang akan datang. Hal ini produktifitas marginal dari barang sekarang lebih besar dibanding produktifitas marginal barang untuk masa yang akan datang (time preference theory).
Teori tersebut di generate atas dasar pandangan psikologis yang sangat subyektif sehingga membuat pemahaman akan teori bunga menjadi salah kaprah. Pertama, sebagian masyarakat menabung bukan karena ingin tabungannya lebih banyak pada masa mendatang, melainkan lebih banyak untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya sekolah, perkawinan, masa pensiun dan lainnya. Kedua, banyak aktifitas penumpukan kekayaan hanya ditujukan untuk pemuas pribadi, prestis atau kedudukan sosial yang sebenarnya tidak membutuhkan bunga. Selain itu, mengapa banyak orang yang tidak membelanjakan seluruh pendapatannya sekarang melainkan menyimpannya untuk keperluan masa yang akan datang.
Dalam teori bunga moneter alasan pembayaran bunga adalah berupa tindakan opportunity untuk memperoleh keuntungan dari meminjamkan uang. Keynes menyebutnya sebagai motif spekulasi dari permintaan akan uang (liquidity preference). Motif ini didefinisikan sebagai usaha untuk menjamin keuntungan pada masa yang akan datang. Dari teori-teori inilah konsep time value of money muncul. Dalam disiplin ilmu ekonomi barat ada sebuah formulasi yang menempatkan posisi rent, wage dan interest ; (r) L; (w) L; M, dimana :
- (r) K berarti rent untuk capital
- (w) berarti wage untuk labour
- (i) M berarti interest untuk money.
Formulasi di atas menunjukkan bahwa padanan rent atau sewa adalah aset tetap dan aset bergerak, wage padanannya labour, dan interest atau bunga padanannya adalah uang. Dari sini nampak bagi kita bahwa, amatlah keliru bila kita menempatkan rent atau sewa untuk uang, karena uang bukan aset tetap seperti rumah atau aset bergerak seperti mobil yang dapat disewakan. Alasan lain adalah pertimbangan faktor inflasi, yang ditandai dengan meningkatnya harga barang secara keseluruhan dan dalam tempo terus menerus, sehingga terjadi penurunan daya beli uang atau decreasing purchasing power of money.
Oleh karena itu menurut konsep time value of mone juga (dengan inflasi sebagai indikator penguat), maka pengambil bunga uang sangatlah logis sebagai ganti dari penurunan daya beli uang selama dipinjamkan. Namun demikian alasan tersebut dikatakan tepat jika dalam dunia ekonomi yang terjadi hanyalah inflasi saja, tanpa adanya deflasi atau kondisi stabil. Begitu juga tidak menutup kemungkinan bahwa boleh jadi uang yang dipinjamkan sekarang (dalam keadaan ekonomi tingkat inflasi sedang yaitu interfal 10-30 % misalnya), justru di tahun yang akan datang bernilai lebih tinggi karena membaiknya situasi perekonomian atau dalam tingkat inflasi rendah yaitu di bawah10%.

Din Islam yang bersifat syumul dan mutakamil menjanjikan dengan segala solusi dunia dan akhrat, karena memang dia didesign sebagai rahmatan lil alamin. Konsep Islam tentang instrumen keuangan (jihaz maali) tidak pernah terlepas dari hikmah dan manfaat (ifadah). Konsep Islam tentang time value of money adalah sesuatu yang bersifat ijtihadi, dikatakan ijtihadi karena secara tekstual belum pernah didengar kata time value of money dalam ayat maupun hadist Rasulullah SAW, lafadz yang mungkin kita ajukan sebagai something similiar adalah lafadz nasaa atau forward transaction. Karenanya perlu sebuah usaha serius untuk menggali hukum dari instrumen tersebut itulah yang kemudian disebut ijtihad, dan sebagai derivasinya yang lebih spesifik adalah instrumen qiyas. Kalau kita lihat dengan teliti maka konsep time value of money adalah qiyas jali atau dia berlandaskan dalil naqli yang sharih (lihad lafadz nasaa dalam hadist riwayat Imam Bukhari hadist no. 938 dalam kitab mukhatashar shahih Bukhari).

Secara prinsip, Islam sangat menghargai waktu, hal ini sangat berdasar dan seyogyanya diimani oleh setiap muslim. Karenanya ada beberapa ayat dalam al Quran al Karim menjadikan waktu sebagai obyek qasm atau sumpah oleh Allah SWT, seperti wal ashr (demi masa), wadhuha (demi waktu pagi), wallaili (demi waktu malam), wannahaari (demi waktu siang), walfajr (demi waktu fajar) dan yang lainnya. Dalam sebuah hadist juga dianjurkan untuk selalu memperhatikan kesempatan sebelum datang kesempitan (time utility) dan para ulama juga sangat menekankan akan pentingnya waktu. Sebagai contoh seorang sayyid Qutb mengatakan : “waktu adalah kehidupan”.
Perlu ada pemisahan bahasan antara hukum time of value yang dipraktekkan dalam konsep konvensional dengan konsep time of value dalam sebuah kaitan transaksi tertentu dalam fiqh mumalah Islam, hal tersebut dimaksudkan agar pembahasan menjadi lebih wise dan tepat (mushib). Jika yang dimaksud dalam konsep time of value dengan cara tangguh yang relatif lebih mahal, serta konsep upah (ujrah) yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, merupakan contoh praktis yang secara alamiah tidak dapat terlepas dari time value of money. Islam memberikan jalan keluar (makhraj) dengan suguhan konsep economic value of time dengan return on capital sebagai landasan kerjanya, dan bukan return on money yang terkait dengan suku bungan (rate of interest), sebagai solusi atas konsep time value of money dalam praktek ekonomi konvensional yang melekat padanya praktek riba/bunga. Dimana nilai uang/harta yang dihasilkan oleh seseorang berbeda sesuai dengan kontribusi, kualitas, serta jenis amalah yang disumbangkan. Wallahu a’lam bishawab.
Oleh : Saptono Budi Satryo (Kandidat Master Ekonomi dan Keuangan Syariah, UI dan Praktisi Perbankan Syariah)
Sumber : Buletin Salam Mulia, Edisi 14/II/1426

Time Value of Money VS Economic Value of Time

Time Value of Money (TVM) adalah sebuah konsep penting dalam pengelolaan keuangan. Hal ini dapat digunakan untuk membandingkan alternatif investasi dan untuk memecahkan masalah yang melibatkan pinjaman, sewa, tabungan, dan anuitas.
TVM didasarkan pada konsep bahwa nilai uang yang dimiliki saat ini adalah lebih berharga daripada nilai uang yang akan di terima satu dolar di masa depan. Uang yang dipegang saat  ini bernilai lebih karena dapat berinvestasi dan mendapatkan bunga.
Misalnya, berinvestasi 1 dolar selama satu tahun pada 6% bunga tahunan dan mengumpulkan $ 1,06 pada akhir tahun ini. Bisa dikatakan bahwa masa depan nilai 1 dolar adalah $ 1,06 diberi tingkat bunga 6% pada periode satu tahun.
Konsep utama TVM adalah bahwa nilai uang penerimaan pembayaran di masa depan dapat dikonversi ke nilai setara hari ini. Sebaliknya, Anda dapat menentukan nilai uang yang akan tumbuh di masa depan.
Dapat dihitung nilai kelima jika diberi empat dari: Suku Bunga, Jumlah Periode, Pembayaran, Present Value, dan Future Value.
A. Bunga
Bunga adalah biaya untuk meminjam uang, biasanya dinyatakan sebagai persentase dari jumlah pinjaman selama jangka waktu tertentu. Bunga dapat diklasifikasikan menjadi 2:
  1. Bunga dihitung sama pada 1 periode waktu. (bunga flat)
  2. Bunga dihitung setiap periode pada jumlah pinjaman yang asli ditambah semua bunga yang belum dibayar terakumulasi hingga saat ini. (bunga compound)
. Konsep Economic Value Of Time
Teori economic value of time dikembangkan pada abad ke-7 Masehi. Pada saat digunakannya emas dan perak sebagai alat tukar. Logam ini diterima sebagai alat tukar disebabkan nilai intrinsiknya, bukan karena mekanisme untuk dikembangkan selama periode itu, sehingga hubungan debitur/kreditur  yang muncul bukan karena akibat transaksi dagang langsung, namun jelas merupakan transaksi “permintaan uang”.
Landasan atau keadaan yang digunakan oleh ekonomi konvensional yang ditolak dalam ekonomi Islam, yaitu keadaan al-ghunmu bi al-ghurni (mendapatkan hasil tanpa memperhatikan resiko) dan al kharaj bi al-dhaman (memperoleh hasil tanpa mengeluarkan suatu biaya).
Dalam pandangan Islam mengenai waktu, waktu bagi semua orang adalah sama kuantitasnya, yaitu 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam sepekan. Nilai waktu antara satu orang dengan orang lainnya, akan berbeda dari sisi kualitasnya. Jadi faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (tepat guna) dan efisien (tepat cara), maka akan semakin tinggi nilai waktunya.
Di dalam Islam, keuntungan bukan saja keuntungan di dunia, namun yang dicari adalah keuntungan di dunia dan di akherat. Oleh karena itu, pemanfaatan waktu itu bukan saja harus efektif dan efisien, namun harus juga didasari dengan keimanan. Keimanan inilah yang akan mendatangkan keuntungan di akhirat.
Dalam ekonomi Islam, penggunaan sejenis discount rate dalam menentukan hargabai’ mu’ajjal (membayar tangguh) dapat digunakan. Hal ini dibenarkan, karena :
1.      Jual beli dan sewa menyewa adalah sektor riil yang
2.       menimbulkan economic value added (nilai tambah ekonomis)
3.       
  1. Tertahannya hak si penjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan kewajiban (menyerahkan barang atau jasa), sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain.
Begitu pula penggunaan discount rate dalam menentukan nisbah bagi hasil, dapat digunakan. Nisbah ini akan dikalikan dengan pendapatan aktual (actual return), bukan dengan pendapatan yang diharapkan (excepted return). Transaksi bagi hasil berbeda dengan transaksi jual beli atau transaksi sewa menyewa, karena dalam transaksi bagi hasil hubungannya bukan antara penjual dengan pembeli atau penyewa dengan yang menyewakan. Dalam transaksi bagi hasil, yang ada adalah hubungan antara pemodal dengan yang memproduktifkan modal tersebut. Jadi, tidak ada pihak yang telah melaksanakan kewajiban namun masih tertahan haknya. Shâhibul mâl telah melaksanakan kewajibannya, yaitu memeberikan sejumlah modal, yang memproduktifkan (mudhârib) juga telah melaksanakan kewajibannya, yaitu memproduktifkan modal tersebut. Hak bagi shâhibul mâl danmudhârib adalah berbagi hasil atas pendapatan atau keuntungan tersebut, sesuai kesepakatan awal apakah bagi hasil itu akan dilakukan atas pendapatan atau keuntungan.
Ajaran Islam mendorong pemeluknya untuk selalu menginvestasikan tabungannya. Di samping itu, dalam melakukan investasi tidak menuntut secara pasti akan hasil yang akan datang. Hasil investasi di masa yang akan datng sangat dipengaruhi berapa faktor, baik faktor yang dapat diprediksikan maupun tidak. Faktor-faktor yang dapat diprediksikan atau dihitung sebelumnya adalah: berapa banyaknya modal, berapa nisbah yang disepakati, berapa kali modal dapat diputar. Sementara faktor efeknya tidak dapat dihitung secara pasti atau sesuai dengan kejadian adalah return (perolehan usaha).
Berdasarkan hal di atas, maka dalam mekanisme investasi menurut Islam, persoalan nilai waktu uang yang diformulasikan dalam bentuk bunga adalah tidak dapat diterima. Dengan demikian, perlu dipikirkan bagaimana formula pengganti yang seiring dengan nilai dan jiwa Islam. Hubungan formula tersebut dapat ditemukan formula investasi menurut pandangan Islam sebagai berikut :
III. Kesimpulan
Secara sederhana uang didefinisikan segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat bantu dalam pertukaran. Secara hukum, uang adalah sesuatu yang dirumuskan oleh undang-undang sebagai uang. Jadi segala sesuatu dapat diterima sebagai uang jika ada aturan atau hukum yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dapat digunakan sebagai alat tukar.
Fungsi utama uang dalam teori ekonomi konvensional adalah:
  1. Sebagai alat tukar (medium of exchange) uang dapat digunakan sebagai alat untuk mempermudah pertukaran.
  2. Sebagai alat kesatuan hitung (Unit of Account) untuk menentukan nilai/harga sejenis barang dan sebagai perbandingan harga satu barang dengan barang lain.
  3. Sebagai alat penyimpan/penimbun kekayaan (Store of Value) dapat dalam bentuk uang atau barang.
Ada beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan perilaku uang dalam ekonomi konvensional, antara lain:
  1. Teori Moneter Klasik. Teori permintaan uang klasik tercermin dalam teori kuantitas uang. Keberadaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga, tetapi ditentukan oleh kecepatan perputaran uang tersebut.
  2. Teori Keynes. Menurut Keynes, motif seseorang untuk memegang uang ada tiga tujuan yaitu: Transaction MotivePrecautionary Motive (keperluan berjaga-jaga) dan Speculative Motive. Motif transaksi dan berjagajaga ditentukan oleh tingkat pendapatan, sedangkan motif spekulasi ditentukan oleh tingkat suku bunga.
  3. Konsep Time Value of Money. Dua hal yang menjadi alasan munculnya konsep ini adalah: presence of inflation dan preference present consumption to future consumption.
Dalam ekonomi Islam, fungsi uang yang diakui hanya sebagai alat tukar (medium of exchange) dan kesatuan hitung (unit of account). Uang itu sendiri tidak memberikan kegunaan/manfaat, akan tetapi fungsi uanglah yang memberikan kegunaan. Uang menjadi berguna jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu uang tidak bisa menjadi komoditas/barang yang dapat diperdagangkan.
Dalam konsep ekonomi Islam uang adalah milik masyarakat (money is goods public). Barang siapa yang menimbun uang atau dibiarkan tidak produktif berarti mengurangi jumlah uang beredar yang dapat mengakibatkan tidak jalannya perekonomian. Jika seseorang sengaja menumpuk uangnya tidak dibelanjakan, sama artinya dengan menghalangi proses atau kelancaran jual beli. Implikasinya proses pertukaran dalam perekonomian terhambat.
Disamping itu penumpukan uang/harta juga dapat mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas beramal (zakat, infak dan sadaqah). Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai imbas yang tidak baik terhadap kelangsungan perekonomian. Oleh karenanya Islam melarang penumpukan / penimbunan harta, memonopoli kekayaan, sebagaimana telah disebutkan dalam QS:at-Taubah/9: 34-35 berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ
“Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan  itu.”
Di samping itu uang disimpan yang tidak dimanfatkan di sektor produktif (idle asset)  jumlahnya akan semakin berkurang karena adanya kewajiban zakat bagi umat Islam. Oleh karena itu uang harus berputar (Money as Flow Consept). Islam sangat menganjurkan bisnis/perdagangan, investasi di sektor riil. Uang yang berputar untuk produksi akan dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi masyarakat.
Inilah, maknanya ajaran Islam yang menganjurkan menggunakan konsepEconomic Value of Time. Artinya, waktulah yang memiliki nilai ekonomi, bukan uang memiliki nilai waktu.
(Dikutip dan diselaraskan dari http://yunada.student.umm.ac.id/2010/12/02/time-value-of-money-vs-economic-value-of-time-3/)


Tidak ada komentar: